Rencana hari ini tadinya penjelajahan pantai-pantai di selatan Bali. Tapi urusan ini itu yang ternyata baru selesai sekitar jam 11-an membuat rencana terpaksa diubah. Mencapai kawasan Bukit Jimbaran dimana ada banyak pantai indah tersembunyi di kaki-kaki tebing perlu waktu setidaknya satu jam berkendara meskipun dengan sepeda motor. Hari ini yang ada hanya mobil, pasti lebih lama lagi. Artinya sampai sana sudah lewat jam 12 siang, sementara rata-rata pantainya menghadap barat. Kalau dipaksakan, memotret menghadap matahari, hasilnya pasti tidak optimal.
Setelah melihat pola langit dan memastikan sisi timur cukup cerah, akhirnya rencana diubah, memilih tujuan yang agak dekat sehingga lebih cepat dicapai, dan tidak terlalu sensitif dengan arah matahari yang segera bergeser ke sisi barat. Meluncurlah menuju Goa Gajah yang lokasinya berada di kawasan Blahbatuh, antara Ubud dan Kota Gianyar. Tidak makan waktu lama. Cukup hafal jalan-jalan tikus di seputaran Ubud, hanya perlu sekitar 20 menitan untuk mencapai Pura Goa Gajah.
Pura Goa Gajah
Waktu yang tepat saat sampai di Pura Goa Gajah, karena masih ada rentang waktu sebelum tengah hari sementara sesi bisa berlanjut sampai setelah tengah hari. Artinya bisa mendapat angle dari sisi timur maupun barat tanpa harus melawan matahari. Sayangnya begitu sampai disana saya segera sadar kalau bulan-bulan ini matahari sedang berada di utara, sementara daya tarik utama Pura Goa Gajah, mulut goa berukir sosok gajah raksasa, menghadap selatan. Artinya pagi, siang, sore, tetap gelap.
Pura Goa Gajah merupakan kombinasi antara situs religi sekaligus juga situs purbakala. Disini kita bisa melihat pura di Bali yang tidak menggunakan bangunan meru, menara tinggi dengan atap bertingkat, sebagai bangunan sucinya. Di pura yang satu ini kita justru menemukan bangunan suci yang terdiri dari struktur-struktur batu seperti layaknya candi-candi di Pulau Jawa atau kuil-kuil yang banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara seperti Angkor Wat di Cambodia misalnya.
Kompleks Pura Goa Gajah cukup luas sehingga menjelajahi dan menjepret setiap sudut menarik memerlukan waktu yang cukup lama. Selain goanya itu sendiri ada kolam dengan jejeran patung pada pelataran di depannya. Selain itu ada juga Pura Buddha yang dapat dicapai dengan turun naik tangga dan menyeberangi jembatan. Sungai kecil yang memisahkan kedua pura ini juga cukup menarik karena ada tempat dengan batu-batu raksasa berselimut lumut yang menyembunyikan beberapa air terjun kecil dibaliknya.
Hanya itu? Ternyata tidak juga. Seluruh kawasan suci ini menyimpan aneka peninggalan bersejarah yang seolah-olah berserakan. Tebing-tebing berukir, sampai ruangan tempat bersemedi yang dipahat ke dalam dinding batu.
Selain soal posisi matahari, ada sejumlah tantangan lain mengeksplorasi kawasan Pura Goa Gajah bersama kamera. Banyak pohon-pohon besar membuat kita harus banyak bereksplorasi dengan kontras tinggi antara terik matahari dan bayangan pohon. Kawasan yang cukup luas dengan kontur naik turun juga lumayan menguras tenaga. Tapi hal yang paling sulit sebetulnya adalah ramainya pengunjung. Mencari saat kita bisa memotret obyek tanpa terhalang wisatawan bukan hal yang mudah. Kalaupun kita “pasrah” dan membiarkan keberadaan pengunjung dalam frame, membuatnya terasa enak dipandang juga tidak selalu mudah.
Goa Garba
Tidak terasa, selepas jam 2an baru kembali ke pelataran parkir Pura Goa Gajah dan mulai memikirkan tujuan selanjutnya. Matahari yang sudah semakin membarat memberi tambahan tantangan selain soal posisi, warnanya sudah mulai sedikit menguning. Jadi harus cepat-cepat, mencari obyek lain yang tidak terlalu jauh sehingga tidak terlalu banyak membuang waktu di jalan. Sementara kalau disudahi saja hari itu, rasanya sayang juga. Akhirnya diputuskan untuk menuju situs purbakala lainnya, Goa Garba, yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer menurut Google Map.
Goa Garba merupakan tempat bersemedi yang dipahat pada tebing karang di tepi Sungai Pakerisan. Lokasinya peris berada di bawah Pura Pengukur-Ukur yang berada di pinggiran Desa Pejeng. Riset sana sini mengungkap bahwa keberadaan Pura Pengukur-Ukur dan mungkin juga Goa Garba sudah diketahu sejak sekitar abad ke-11 masehi, hampir 1000 tahun silam. Keberadaan kedua situs ini Pura Pengukur-Ulur dan Goa Garba, berhubungan erat dengan mahapatih sakti bernama Kebo Iwa.
Hanya perlu waktu sekitar 10 menit untuk mencapai jalan masuk menuju Goa Garba dari Pura Goa Gajah. Jalan masuknya adalah jalan kecil beberapa puluh meter sebelum Pura Pengukur-Ukur. Tidak ada lahan parkir, terpaksa parkir di tepi jalan. Saat sampai disitu sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada nampak orang satupun, jangankan wisatawan, penduduk setempatpun tidak ada. Memang sama sekali tidak ada rumah penduduk di sekitar situ.
Setelah memarkir mobil di tepi jalan, saya mulai berjalan menapaki jalan setapak sesuai petunjuk. Jalannya beralas beton. Sebagai jalan setapak cukup lebar, tapi untuk dilewati mobil tidak mungkin. Selain tidak ada satupun orang sepanjang jalan yang diapit ladang di kiri dan tebing sungai di kanan, suasana terasa agak “mencekam” karena perjalanan terhalang pohon tumbang yang melintang menutupi jalan. Setelah ragu-ragu sejenak dan akhirnya memutuskan lanjut, jalan setapak ini berujung di Goa Garba itu sendiri.
Suasana magis sangat terasa. Entah karena ini merupakan bangunan suci yang sudah sangat tua, atau hanya karena tidak ada orang lain sama sekali di tempat itu.
Yang paling menarik perhatian adalah gapura besar dengan tangga terjal yang terbuat dari bongkahan batu-batu alam. Sementara tempat bersemedinya sendiri berada di samping gapura tersebut. Ada dua ceruk yang cukup besar untuk duduk beberapa orang mengapit semacam pelinggih atau bangunan suci yang tersiram air dari pancuran di atasnya. Persis di atas tempat bersemedi ini memang ada “petirtaan”, mata air suci.
Menaiki tangga naik memasuki gerbang, di atas kita bisa mencapai petirtaan selain menikmati panorama dari lokasi yang lebih tinggi. Setelah mencapai gerbang, tangga itu masih terus naik dan kalau diikuti membawa kita ke sisi belakang Pura Pengukur-Ukur. Setelah sampai di pura ini baru kemudian terasa bahwa tempat bersemedi di Goa Garba ini berada persis di bawah pelinggih utama Pura Pengukur-Ukur yang bentuknya seperti candi yang terbuat dari batu.
Sayangnya kita tidak bisa masuk ke pura yang indah ini, hanya bisa melihatnya dari luar saja. Ternyata sebetulnya daripada masuk ke Goa Garba melalui jalan setapak di tempat yang ada plang namanya tadi, lebih mudah masuk dari Pura Pengukur-Ukur. Selain lebih dekat, juga ada tempat yang cukup lapang untuk memarkir kendaraan.
Air Terjun Goa Rang Reng
Sudah semakin senja, matahari sudah semakin jauh ke arah barat dengan sinarnya yang sudah semakin menguning. Balik kanan? Melirik peta untuk melihat tempat yang mungkin bisa dimampiri dalam perjalanan pulang, akhirnya diputuskan untuk mampir ke Air Terjun Goa Rang Reng yang lokasinya memang sangat dekat dengan Kota Gianyar, bahkan menurut peta lokasi ini masuk ke dalam kawasan kota.
Karena datang dari arah utara, mencari Air Terjun Goa Rang Reng agak susah, muter-muter di jalan-jalan kecil pedesaan, bahkan sempat salah jalan dan terpaksa putar balik. Signal buruk membuat Google Map tidak cukup akurat memandu. Tapi akhirnya sampai juga sih. Dan lagi-lagi saya mendapati tempat wisata yang susah untuk memarkir mobil. Lahan parkir yang disediakan untuk mobil relatif sempit. Mungkin bisa menampung 5-6 mobil. Tapi karena saat itu dipenuhi jejeran ATV, hanya ada satu mobil terparkir saja sudah tidak menyisakan tempat. Jadi lagi-lagi, mepet got di tepi jalan.
Berjalan menyusuri jalan setapak beralas beton sekitar 100-an meter, ada gubuk kecil tempat kita membeli tiket. Tiketnya 10 ribu rupiah. Disitu ada lapangan yang diberi tanda “Parkir Sepeda Motor”. Lucunya si penjual tiket sempat bertanya. “Bawa mobil Pak?” Saya mengiyakan dengan anggukan, yang dibalasnya dengan mengatakan “Parkir sini aja tuh di tempat motor.” Alamak! Lalu apa gunanya itu plang bertuliskan “Parkir Mobil” di depan dan “Parkir Sepeda Motor” yang dia tunjuk itu.
Gak mau berargumen panjang, perjalanan lanjut dengan jalan setapak yang mulai menurun bertangga-tangga. Cukup nyaman karena tetap beralas beton, tapi karena undakan tangganya yang aduhai, sekitar selutut, lumayan pegel juga melewatinya. Sekitar 100-200 meter jalan berubah menjadi jalan setapak tanah dan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang ditempel di batang-batang pohon, sampai juga akhirnya di tepi sungai dimana keindahan Air Terjun Goa Rang Reng bisa dinikmati dengan leluasa tanpa terhalang lagi rerimbunan pohon.
Mungkin menyebutnya sebagai air terjun tidak sepenuhnya tepat. Airnya tidak terjun tetapi meluncur pada bidang sungai yang miring. Kemiringannya juga tidak terlalu terjal. Turun ke tepi sungai kita bisa mencapai kaki air terjun. Tapi kalau pada kebanyakan air terjun kita bisa bermain air di kaki air terjun, di Goa Rang Reng ini kalau kita mau bermain air enaknya justru di puncaknya. Karena tebingnya relatif landai, kita bisa naik dengan mudah. Tantangannya hanya sedikit licin, tapi disediakan tali untuk membantu kita naik.
Di atas ada pelataran yang cukup luas dengan hamparan batu yang halus di kaki. Bisa duduk-duduk atau berenang di aliran sungainya yang melebar menjadi seperti kolam sebelum airnya meluber dan meluncur ke bawah. Dari sini kita juga bisa melihat asal muasal nama air terjun ini. Aliran sungainya melintasi goa sempit dengan aliran yang cukup deras.
Kalau bicara fotografi, sayang sampai disini sudah sore. Matahari yang sudah miring posisinya membuat sebagian air terjun tertutup bayangan sehingga relatif gelap sementara sebagian lainnya masih terpapar sinar matahari yang sangat terik sehingga terang banget. Sepertinya tengah hari merupakan waktu yang paling pas. Saat posisi matahari tegak dari atas, paparan terang sinar matahari merata di seluruh air terjun.
Warung Kakul Ubud
Menjelang sore naik dari Air Terjun Goa Rang Reng, barulah perut terasa nagih. Kasian deh. Maaf ya, sampe lupa memperhatikan aspirasinya. Meluncur di jalan pulang, di kawasan Tebongkang mata tertuju pada sebuah warung sederhana dengan bangunan yang terbuat dari bambu. Warung Kakul namanya. Dalam Bahasa Bali, “kakul” itu artinya siput sawah. Di kawasan priangan, di Jawa Barat, dalam Bahasa Sunda masyarakat sana menyebutnya “tutut”.
Parkir dan masuk, ternyata di dalam suasananya lebih unik lagi. Facade luar yang sangat sederhana berubah lebih bergaya restoran di dalam, meskipun kesan alami tetap dijaga. Bangunannya terbuka dengan sisi belakang menghadap lahan kosong yang hijau dan asri. Alami berisi semak belukar diantara pohon-pohon besar. Meja-meja kayu tertata berjejer rapi, sementara langit-langitnya tanpa plafond sehingga terasa lebih lega.
Sajian utamanya sesuai namanya, sate kakul khas Bali. Kakul yang sudah dikeluarkan dari cangkangnya ini dipanggang dengan tusukan seperti layaknya sate kambing atau ayam yang biasa kita kenal. Bumbunya setali tiga uang, cenderung manis dengan aroma gosong yang menggoda. Yang istimewa adalah kakulnya yang dagingnya terasa sangat lembut. Beberapa kali saya mencicipi sate kakul di Bali, ini juara.
Menemani sajian khas Bali ini adalah sayur berkuah yang tidak kalah khas kuliner Bali, yaitu “Jukut Ares”. Dalam Bahasa Bali, “jukut” artinya sayur. Sementara “ares” merujuk pada batang pisang. Yups … bagian batang pisang yang teksturnya lebih halus itulah yang diolah. Kalo yang satu ini, saya baru pertama kali mencicipinya. Dengan bumbu yang sepertinya mengandung kunyit, santan encer, dan rempah lainnya, aromanya menggoda dan ternyata rasanya juga oke punya. Apalagi dibantu dengan cita rasa gurih dari daging kakul yang turut dicampur di dalam kuahnya. Ternyata jukut ares khas Bali ini penuh cita rasa, tidak seperti dugaan saya sebelumnya.
Sate Kakul dan Jukut Ares Kakul, sajian kuliner Bali yang top margotop.
Untuk mereka yang tidak suka kakul atau tidak merasa cukup nyaman untuk berpetualang dengan kuliner lokal saat berlibur, bisa memilih menu lainnya yang lebih mainstream seperti ayam dan ikan yang juga disajikan di tempat ini.