Melihat langit ke arah Ubud nampak cerah, saya langsung berfikir untuk meluncur kesana. Sama sekali belum kepegang Ubud. Baru Candi Tebing Jukut Paku dua apa tiga hari lalu, nggak bisa lanjut karena harus buru-buru balik. The day was aborted hanya sekitar 5 menitan setiba di Jukut Paku.
Incaran utama saya di Ubud adalah Bukit Campuhan. Sudah lama sekali saya berfikir untuk kesana. Sudah banyak kali saya riset. Tapi kalaupun sudah melintas di sekitaran sana, saya selalu bingung mau parkir dimana. Sepanjang jalan dari Central Ubud ke arah Jembatan Campuhan memang tidak ada space buat markir mobil kecuali masuk ke salah satu hotel atau restoran. Bisa saja sih ngikutin orang-orang markir mobil di tepi jalan menurun sebelum jembatan. Banyak mobil parkir disitu. Tapi saya gak tega, soalnya tanda dilarang parkir jelas-jelas berjejer disitu.
Bukit Campuhan Ubud
Jadi dengan sepeda motor meluncurlah saya menuju Ubud. Sempat terfikir untuk mampir di Monkey Forest, tapi akhirnya saya pilih langsung ke Bukit Campuhan dulu. Nanti kalau memang memungkinkan, baru balik ke Monkey Forest. Toh cuma tinggal memutar sedikit saja. Dengan sepeda motor paling banter juga 5-10 menit.
Jadilah saya approaching Bukit Campuhan mengikuti petunjuk dari postingan seorang turis bule di Tripadvisor. Turunan menuju Jembatan Campuhan, belok kiri ke jalan kecil menuju Hotel Ibah, persis sebelum portal hotel, belok kiri. Motor bisa parkir sebelum jembatan. Kita berjalan kaki dari situ. Begitu kurang lebih petunjuknya.
Sompret … ternyata setelah berbelok kiri dari depan portal Hotel Ibah, ada lahan kosong yang dijadikan areal parkir mobil. Ternyata ada tempat parkir mobil untuk pengunjung yang menuju Bukit Campuhan. Halah lah lah. Dari lapangan parkir mobil itu, motor masih bisa terus beberapa puluh meter lagi sebelum numpang parkir di depan sekolahan, persis di pojok sebelum jembatan menuju pura.
Gak ada salahnya liat-liat pura itu dulu sebelum masuk ke Bukit Campuhan. Meskipun pintunya terkunci dang wisatawan dilarang masuk, dari luar saja keindahan pura itu sudah sangat kentara. Turun dari depan pura, kita bisa merasakan dinginnya air Sungai Campuhan. Dua sungai yang mengapit Bukit Campuhan bertemu disini sebelum melintas di kolong Jembatan Campuhan, jembatan besar di dekat The Bridge, bukan jembatan kecil menuju pura.
Paralel dengan jembatan kecil menuju pura, ada jembatan lebih kecil lagi, yang terhubung dengan jalan setapak di samping pura yang diapit pagar pura di sisi kiri dan tebing sungai di sisi kanan. Kalo mau ke Bukit Campuhan, tinggal ikuti saja jalan setapak di samping pura itu. Selepas pagar sisi belakang pura, jalan setapak melintas semak belukar semakin menanjak. Untuk yang nggak biasa jalan kaki, udah cukup ngos-ngosan bahkan sebelum sampai di atas bukit.
Siang hari … nggak terlalu banyak yang kesana. Hanya bule. Kebanyakan turis domestik memang nggak suka tersengat matahari di siang hari. “Takut hitam!” itu saja biasanya argumennya. Padahal ya kenapa takut kalo itemnya aja emang udah.
Sampai di puncak barulah ketemu dengan jalan setapak yang membentang sepanjang puncak bukit. Bukitnya memang memanjang, jadi jalur jalan setapak di atas puncak bukit ini lumayan panjang. Jalan setapaknya cukup lebar. Nggak susah papasan. Dan dipasangi paving batu kotak-kotak sehingga tidak berdebu saat panas, tidak becek saat hujan. Di kedua sisi jalan setapak, tebing dengan kemiringan sekitar 45% hijau diselimuti alang alang. Di masing-masing sisi kaki bukit mengalir sungai. Sisi seberang sungai, tebing dengan kemiringan dengan arah berlawanan. Hijau diselimuti hutan dengan bangunan hotel dan restoran menyelip di sana-sini.
Indah … luar biasa. Pagi saat sunrise atau sore saat sunset kayaknya juga pasti cantik pemandangannya. Siang sebetulnya sangat cantik. Kombinasi warna hijau muda alang-alang, hijau tua hutan, dan biru langit nampak luar biasa. Hanya saja panasnya bukan main. Tidak ada pohon untuk berteduh, apalagi gazebo atau apapun sejenisnya. Baru ada pohon setelah jalan setapak hampir mencapai ujung. Warung untuk sekedar beristirahat atau membeli minuman juga baru ada setelah sampai di ujung.
Lumayan … kayaknya barang 1.5 kilometer ada deh. Bolak balik ya tinggal dikali dua aja. Banyak bule yang nyuruh supirnya nunggu di ujung, jadi nggak usah jalan kaki balik lagi.
Kawasan Teras Sawah Tegallalang Ubud
Keluar dari Bukit Campuhan saya memutuskan untuk membatalkan rencana ke monkey forest. Saya memilih untuk masuk kota menuju Tegallalang. Tadinya mau mampir ke Ubud Palace, istana Keluarga Kerajaan Ubud. Tapi ternyata sedang direnovasi. Nggak enak banget kan motret dengan perancah, terpal-terpal penutup tempat kerja, dan tukang lalu lalang. Jadi lewat terus langsung menuju Tegallalang.
Ternyata suasananya sudah sedikit berubah dibandingkan terakhir saya kesini sekitar 2 tahun lalu. By the way, sawahnya lagi lumayan bagus, hijau. Keindahan Tegallalang memang seperti sawah-sawah lainnya, berubah-ubah sesuai musim. Kadang hanya dipenuhi air, kadang hijau, kadang kekuningan, kadang kuning emas. Yang paling parah ya pas setelah panen. Jelek banget.
Setelah foto-foto sana sini dari tepi jalan, saya mulai melangkah menuju jalur trekking. Ini yang sering dilewatkan mereka yang jalan-jalan ke Tegallalang. Kebanyakan hanya foto-foto dari tepi jalan lalu cus pergi ke tempat lain. Yang menarik di Tegallalang itu justru trekking melintasi kawasan persawahannya itu. Keindahan dari sisi sebrang juga jauh lebih emejing dibandingkan dari tepi jalan. Nggak percaya? Cobain aja. Buktikan sendiri! Hehehe.
Tadi saya bilang berubah ya. Duluan, jalan turun trekking itu hanya ada satu. Dari kawasan yang rame banyak parkir dan artshop, harus berjalan kaki dulu ke arah selatan. Sekarang dari salah satu artshop yang berada di sisi jalan, kita bisa turun melintasi jalan setapak menuju persawahannya.
Rutenya lumayan menantang. Tahu dong kalo keindahan Tegalalang itu memang pada sawahnya yang berteras karena “dipahat” di tebing dengan kemiringan yang cukup ekstrim. Konsekwensinya rute yang dilintasi adalah pematang sawah yang turun sangat curam dan pagi naik dengan kemiringan yang tidak kalah curam dari saat turun. Untungnya sekarang jalannya sudah dipasangi paving batu kotak-kotak sehingga lebih mudah diinjak. Dulu lebih parah, karena benar-benar pematang tanah.
Turun lumayan santai meskipun curam. Sampai melintasi jembatan yang menyeberangi sungai di dasar tebing, perjuangan dimulai, menanjak lumayan ekstrim untuk mencapai puncak. Tapi pemandangan sepanjang jalan memang ruarrr biasa. Baliknya lagi juga begitu. Turun lumayan santai sampai ke jembatan, naiknya untuk kembali ke tepi jalan kembali menguras tenaga.
Sepertinya rutenya trekking ini tidak terlalu panjang. Tapi karena naik turun ekstrim itu jadi sangat menguras tenaga. Kalo saya sih perlu satu kelapa muda saat sampai di puncak tebing seberang dan satu lagi saat balik. Hehehe.
Gembok Cinta Tegallalang Ubud
Sebelum pulang, saya sempat teringat tempat wisata kekinian yang baru-baru ini saya temukan secara tidak sengaja di Google Map, namanya Gembok Cinta. Konon ini tempat yang sangat “instraramable”.
Karena masih di Tegallalang, saya fikir sayang kalau dilewatkan. Jadilah saya ikuti petunjuk Google Map ke tempat itu. Saya lumayan hafal rute Ubud – Kintamani lewat Tegallalang. Saya mengira belokan menuju Gembok Cinta itu adalah simpangan ke kiri pertama di ujung utara kawasan wisata Tegallalang. Ternyata itu masih harus di lewat. Kita belok kiri di simpangan kedua.
Meluncur melintasi jalan desa dengan ladang di kiri kanan, setelah beberapa saat sisi kanan jalan berubah menjadi sawah. Saat jalan sedikit menikung ada gubuk kecil di sisi jalan. Di samping gubuk kecil itu ada jalan setapak bersemen dengan tulisan kecil penunjuk arah menuju tempat tujuan saya.
Ada tanah kosong cukup luas di sebrangnya. Parkir disitu dan turun menyeberang, ternyata bapak yang duduk di gubuk itu menyarankan saya untuk masuk bawa motor. Ternyata gubuk itu bukan tempat bayar karcis Gembok Cinta. Tidak ada bayar karcis disitu, hanya ada kotak sumbangan untuk pemeliharaan jalan setapak.
Jadi saya masuk dengan membawa motor. Kalo datang membawa mobil ya terpaksa harus jalan kaki. Jalan setapak ini cukup lebar. Tapi hanya cukup untuk dua sepeda motor berpapasan. Mobil, satupun nggak mungkin bisa masuk. Si bapak di gubuk tadi bilang sih 200an meter. Tebakan saya sekitar 500an meter sampai akhirnya menemukan pintu masuk menuju gembok cinta. Ternyata odometer motor menunjukan angka 700an meter.
Oh iya, jalan menuju Gembok Cinta ini sangat aduhai. Sisi kiri kanan jalan diapit hamparan sawah luas banget. Sama sekali nggak ada keliatan ada bangunan. Kalo saja saya nggak habis dari Bukit Campuhan disambung Tegallalang sehingga kaki sudah mulai agak melemah, kayaknya lebih asik jalan kaki daripada naik motor.
Gembok Cinta ini ternyata hanya sebuah “panggung” berbentuk dua gembok bertaut yang diletakkan di tengah sawah. Hamparan panorama sawahnya yang membuatnya justru jadi menarik. Disana-sini dipasang tulisan-tulisan bertema romansa. Ada juga tempat dimana orang bisa memasang gembok yang ditulisi nama … pastinya pasangan ya, jadi dua nama.
Kesimpulan
Cuapek … Hehehe. Perjalanan kali ini, mengunjungi 3 tempat wisata di Ubud, dan tiga-tiganya temanya jalan kaki. Jadi namanya jalan-jalan ini dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar kiasan. Tapi asik banget. Ketiganya memuaskan. Panoramanya luar biasa. Ini benar-benar tempat wisata yang berpengaruh positif pada jiwa dan raga. Bukan hanya hepi-hepi menikmati pemandangan indah, tapi badan juga cukup berolah raga.
Itung-tungan biayanya juga sangat-sangat murah. Beneran bisa disebut inilah trekking murah di Bali. Mungkin malah paling murah.
Bukit Campuhan sama sekali nggak bayar. Tidak ada tempat untuk membayar tiket masuk. Tempat parkir juga nggak ada tukang parkirnya. Nggak keluar duit sepeserpun.
Tegallalang bayar parkir motor 2000. Kalau mobil 5000. Trekking ini gratis, hanya saja sepanjang jalur trekking ada gubuk petani yang meminta sumbangan. Konon karena rute trekking itu melintasi sawah miliknya. Ada dua tempat, masing-masing saya masukin selembar uang 10.000an. Jadi 20.000. Mahalnya di kelapa. Rute berangkat di ujung saya beli satu, rute balik saya beli satu lagi. Masing-masing 20.000. Jadi total 62.000.
Di Gembok Cinta, saat masuk di gubuk pas masuk itu ada kotak sumbangan. Meskipun nggak diminta, saya masukin selembar 10.000an. Di Gembok Cinta sendiri ada karcis masuknya, 10.000 per orang. Jadi total 20.000.
Berapa itu semuanya jadi ya? 82.000 semuanya. Ya plus bensin dibuletin lah jadi 100.000. Saya berangkat sekitar jam 11an, pulang jam 3an, jadi nggak ada acara makan siang. Hehehe. Istimewa ini. Jarang ada tempat wisata di Bali dimana kita bisa menikmati aktivitas trekking gratis. Biasanya aktivitas trekking di Bali dikelola operator khusus yang menjualnya dalam bentuk paket. Dengan aneka embel-embel yang tidak terlalu penting dan bisa diatur sendiri seperti transportasi, guide, makan siang, dll. kita harus merogoh saku lumayan dalam untuk mengikutinya.